Selasa, 27 Mei 2014

Paper Tentang Multikulturalisme



Paper Pancasila dan Kewarganegaraan
Multikulturalisme


                       





Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan




Disusun :
Vita Asrini
14130276
2 PIK 5



KATA PENGANTAR
           
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Multikulturalisme.”
           
Adapun tujuan penyusunan paper ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.

Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan sehingga membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna menyempurnakan penulisan paper ini.
            Semoga paper ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.





Jakarta,  Maret 2014
                                                                                      

Penulis












i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................ii
BAB I Isi
1.1. Multikulturalisme...............................................................................................1-3
1.2. Praktek Multikulturalisme Di Lingkungan Sekitar.............................................3
1.3. Hambatan-hambatan Multikulturalisme.............................................................4-5
1.4. Sikap yang Diperlukan Untuk Mendukung Multikulturalisme..........................5-6

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................7















ii
Bab I
Isi

1.1  Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Kata Multikultural memiliki arti sebagai kebudayaan. Secara epistimologis, multikultural dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.
Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya.
Karena mulitkulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebuayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Parsudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah idea atau ideologi, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehdupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kehidupan lainnya di dalam masyarakat yangbersangkutan.
Multikulturalisme telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun praktisi dalam berbagai bidang kehidpan di Indonesia dewasa ini. Demikian pula telah muncul pendapat mengenai cara-cara pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa indonesia dewasa ini dari sudut kebudayaan dan bukan melalui cara-cara kekerasan ataupun cara-cara lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam.
Dalam kaitannya dengan masalah mltikulturalisme, Madar Hilmy berpandangan, bahwa bagi bangsa Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial

                                                            1
yang sudah niscaya. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis diiringi penerimaan yang positif pula. Bahkan, banyak fakta yang justru menunjukkan fenomena yang sebalinya.
Keragaman budaya telah memberi sumbangan terbesar bagimunculnya ketegangan dan konflik. Sehinggga, tak pelak modal sosial (social capital) itu justru menjadi kontra produktif bagi penciptaan tatanan kehidupan berbangsa yang damai, harmoni dan toleran.
Untuk itu, diperlukan upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran multikulturalisme agar potensi positif yang terkandung dalam keragaman tersebut dapat
teraktualisasi secara benar dan tepat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena, dalam tataran ideal,pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai “juru bicara” bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara.
Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu ke arah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
Sebenarnya Indonesia memiliki track record yang tidak terlalu jelek dalam pengelolaan keanekaragaman sosial budaya. Sejarah kehidupan kehidupan bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh sikap toleransi dan asimilasi. Kedatangan unsur-unsur baru dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui gesekan sosial yang berarti.
Masyarakat tidak sekedar mudah beradaptasi terhadap nilai- nilai baru itu, tetapi jugaberhasil mengadopsinya dalam struktur sosial budaya mereka. Hal ini dibuktikan, misalnya, oleh kenyataan sejarah betapa masyarakat Jawa sangat mudah menggabungkan dua atau lebih sistem nilai yang berbeda yang kemudian turut membentuk dan mengolah peradaban Jawa sehingga tidaklah mengherankan bila candi Hindu dan Budha berdiri saling berdampingan, dan raja-raja Jawa disebut sebagai “Siswa Budha” sebagai wujud dari representasi dialog dua peradaban Hind Budha.
Kehidupan toleransi semacam ini telah berlangsung di Jawa selama kurang lebih satu millenium sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarnai kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa pada abad ke-14. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural.
Akan tetapi tentu tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan  dielaborasi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di ataskeanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa.
Dengan multikulturalisme dinimaka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakatIndonesia yang adil, makmur,

                                                            2
dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalampembukaan Undang Undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan.
Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Sebagai energi positif, multikultural dipahami sebagai rahmat,mengingat di satu sisi Tuhan telah menciptakan manusia dengan fisik and spiritual yang berbeda. Keberadaan tersebut dapat dijadikan sebagai pelengkap satu sama lain. Modal kelengkapan karakteristik tersebut seakan menjadikan kekuatan untuk meniadakan kekurangan/kelemahan manusia.
Dengan demikian, kelemahan dan kekurangan akan ditukar dengan kekuatan dan keunggulan. Untuk membangun kekuatan dan keunggulan tersebut, diperlukan upaya sistematis dan konstruktif melalui jalur yang dapat mengakomodir berbagai kebutuhan.
Hanya saja, beberapa tahun dalam hitungan sejarah,masyarakat Indonesia terlewat asyik memobilisi masyarakat. Maklum saja, mengingat pasca perjuangan melawan penjajah masyarakat dibuat serba sama, meskipun sebenarnya kompak dan bersatu tidak selamanya identik dengan kesamaan.
Kalau serba sama tetap dipertahankan, dikhawatirkan akan menghilangkan nilai alamiah yang dimiliki manusia yang memang serba berbeda. Serba berbeda memang tidak selamanya menghadapi perilaku yang serba beda pula. Hal yang menjadi pangkal tolak tersebut adalah bagaimana dengan keberbedaan tersebut dapat dijunjung tinggi oleh masing-masing, sehingga tidak lagi keberbedaan menjadi bara api antar kelompok masyarakat.

1.2  Praktek Multikulturalisme Di Lingkungan Sekitar

Contoh multukulturalisme di lingkungan sekitar saya adalah pernikahan dengan berbeda kebudayaan yang ada di dalam keluarga saya yaitu bibi saya. Bibi saya menikah dengan seorang pria budaya batak.
Bibi saya memiliki etnis chinese sehingga di dalam pernikahan bibi saya ini ada percampuran kebudayaan yang sangat kental karena memang adanya kebudayaan yang berbeda di dalamnya.
Pernikahannya pun terdapat 2 acara yang merupakan kebudayaan dari kedua belah pihak sehingga menjadi kebudayaan yang sedikit baru dan mungkin banyak juga pernikahan yang memiliki kebudayaan yang berbeda sehingga dapat memperkaya kebudayaan di Indonesia.
Yang membuat kita semakin meningkatkan sikap menghargai keberagaman yang ada di Indonesia dan semakin bangga dengan negara kita ini.

                                                                  3
1.3  Hambatan-hambatan Multikulturalisme

Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural  (jamak ) dan  heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di  satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas  merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi  suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang potensial  dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya yaitu, struktur sosial yang berbeda akan  menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda,  pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas  juga tanpa memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan  yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik.
Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan  terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan  bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri  sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998). 
Sehingga perbedaan antar  kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai  merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah  budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan  dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya.
Sehingga permasalahan multikultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas  masing-masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat  dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain, bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya  digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang “salah kaprah”  untuk membangun  struktur dan budaya politik yang sentralistik.
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah  adanya persentuhan dan  saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan  dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini  yang paling kritis  adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum lokal di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. 

                                                            4
Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut,  justru disertai dengan semakin menguatnya
Etnosentrime secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri.  Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain  dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya.
      Kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain.   Orang-orang yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman,  maupun komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
Dalam masyarakat selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu  terdapat dua kekuatan, namun sejarah memperlihatkan  bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu  seringkali tidak berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri.
Dalam “masyarakat yang sudah selesai”  konflik itu sudah ditempatkan dalam   suatu mekanisme yang biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung “secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/ mengatasi  perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam  bersama-sama mencari mekanisme itu  masing-masing kekutan progresif itu juga berusaha  untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan  serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu  dipadu dengan pemaksaan fisik. 

1.4  Sikap yang Diperlukan Untuk Mendukung Multikulturalisme
            a. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat.
b. Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas.
c. Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara individu ataupun kelompok serta budaya.
                                                            5
d. Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan.
e. Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.
f. Mengamalkan sikap-sikap yang ada dalam Pancasila dan UUD 1995.




































                                                            6
Daftar Pustaka


















8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar