Paper Pancasila dan Kewarganegaraan
Multikulturalisme
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan
Disusun :
Vita Asrini
14130276
2 PIK 5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan paper yang
berjudul “Multikulturalisme.”
Adapun tujuan penyusunan paper ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
dari mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan.
Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangan sehingga membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menyempurnakan penulisan paper ini.
Semoga
paper ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca pada umumnya.
Jakarta, Maret 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................ii
BAB I Isi
1.1. Multikulturalisme...............................................................................................1-3
1.2. Praktek Multikulturalisme Di Lingkungan Sekitar.............................................3
1.3. Hambatan-hambatan Multikulturalisme.............................................................4-5
1.4. Sikap yang Diperlukan Untuk Mendukung Multikulturalisme..........................5-6
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................7
ii
Bab I
Isi
1.1 Multikulturalisme
Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural)
yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya,
kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Kata Multikultural
memiliki arti sebagai kebudayaan. Secara epistimologis, multikultural dibentuk
dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki,
dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian,
setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup
bersama komunitasnya.
Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala
ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian kebudayaan di antara
para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan
antara konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh
ahli lainnya.
Karena
mulitkulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebuayaan harus
dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Parsudi Suparlan
melihat bahwa dalam perspektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi
kehidupan manusia. Yang juga harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan
pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui
pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah idea
atau ideologi, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada
dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam
kehidupan sosial, kehdupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai
kehidupan lainnya di dalam masyarakat yangbersangkutan.
Multikulturalisme
telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun praktisi dalam berbagai
bidang kehidpan di Indonesia dewasa ini. Demikian pula telah muncul pendapat
mengenai cara-cara pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa
indonesia dewasa ini dari sudut kebudayaan dan bukan melalui cara-cara kekerasan
ataupun cara-cara lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang
beragam.
Dalam kaitannya
dengan masalah mltikulturalisme, Madar Hilmy berpandangan, bahwa bagi bangsa
Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial
1
yang sudah niscaya. Meski demikian, hal itu tidak secara
otomatis diiringi penerimaan yang positif pula. Bahkan, banyak fakta yang
justru menunjukkan fenomena yang sebalinya.
Keragaman budaya
telah memberi sumbangan terbesar bagimunculnya ketegangan dan konflik.
Sehinggga, tak pelak modal sosial (social capital) itu justru menjadi kontra
produktif bagi penciptaan tatanan kehidupan berbangsa yang damai, harmoni dan
toleran.
Untuk itu,
diperlukan upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran multikulturalisme agar
potensi positif yang terkandung dalam keragaman tersebut dapat
teraktualisasi secara benar dan tepat. Pendidikan
merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme
dimaksud. Karena, dalam tataran ideal,pendidikan seharusnya bisa berperan
sebagai “juru bicara” bagi terciptanya fundamen kehidupan multikultural yang
terbebas dari kooptasi negara.
Hal itu dapat
berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai
dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu ke arah pengakuan dan
penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi
kehidupan.
Sebenarnya Indonesia memiliki track record yang tidak
terlalu jelek dalam pengelolaan keanekaragaman sosial budaya. Sejarah kehidupan
kehidupan bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh sikap toleransi dan asimilasi. Kedatangan
unsur-unsur baru dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui gesekan sosial
yang berarti.
Masyarakat tidak
sekedar mudah beradaptasi terhadap nilai- nilai baru itu, tetapi jugaberhasil
mengadopsinya dalam struktur sosial budaya mereka. Hal ini dibuktikan, misalnya,
oleh kenyataan sejarah betapa masyarakat Jawa sangat mudah menggabungkan dua
atau lebih sistem nilai yang berbeda yang kemudian turut membentuk dan mengolah
peradaban Jawa sehingga tidaklah mengherankan bila candi Hindu dan Budha
berdiri saling berdampingan, dan raja-raja Jawa disebut sebagai “Siswa Budha” sebagai
wujud dari representasi dialog dua peradaban Hind Budha.
Kehidupan toleransi
semacam ini telah berlangsung di Jawa selama kurang lebih satu millenium
sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarnai kehidupan sosio-kultural
masyarakat Jawa pada abad ke-14. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya
disebut sebagai kehidupan multikultural.
Akan tetapi tentu
tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran
akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. Pemahaman ini
yang disebut sebagai multikulturalisme.
Multikulturalisme
sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan
bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di ataskeanekaragaman
kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa.
Dengan
multikulturalisme dinimaka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum
dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan
bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakatIndonesia yang adil,
makmur,
2
dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalampembukaan
Undang Undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat
pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam
budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini
perlu dikembangkan.
Melalui pendidikan
multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang
damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang
telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Sebagai energi
positif, multikultural dipahami sebagai rahmat,mengingat di satu sisi Tuhan
telah menciptakan manusia dengan fisik and spiritual yang berbeda. Keberadaan
tersebut dapat dijadikan sebagai pelengkap satu sama lain. Modal kelengkapan
karakteristik tersebut seakan menjadikan kekuatan untuk meniadakan kekurangan/kelemahan
manusia.
Dengan demikian,
kelemahan dan kekurangan akan ditukar dengan kekuatan dan keunggulan. Untuk
membangun kekuatan dan keunggulan tersebut, diperlukan upaya sistematis dan
konstruktif melalui jalur yang dapat mengakomodir berbagai kebutuhan.
Hanya saja,
beberapa tahun dalam hitungan sejarah,masyarakat Indonesia terlewat asyik
memobilisi masyarakat. Maklum saja, mengingat pasca perjuangan melawan penjajah
masyarakat dibuat serba sama, meskipun sebenarnya kompak dan bersatu tidak
selamanya identik dengan kesamaan.
Kalau serba sama
tetap dipertahankan, dikhawatirkan akan menghilangkan nilai alamiah yang
dimiliki manusia yang memang serba berbeda. Serba berbeda memang tidak
selamanya menghadapi perilaku yang serba beda pula. Hal yang menjadi pangkal
tolak tersebut adalah bagaimana dengan keberbedaan tersebut dapat dijunjung
tinggi oleh masing-masing, sehingga tidak lagi keberbedaan menjadi bara api
antar kelompok masyarakat.
1.2 Praktek Multikulturalisme Di Lingkungan Sekitar
Contoh
multukulturalisme di lingkungan sekitar saya adalah pernikahan dengan berbeda
kebudayaan yang ada di dalam keluarga saya yaitu bibi saya. Bibi saya menikah
dengan seorang pria budaya batak.
Bibi saya memiliki
etnis chinese sehingga di dalam pernikahan bibi saya ini ada percampuran
kebudayaan yang sangat kental karena memang adanya kebudayaan yang berbeda di
dalamnya.
Pernikahannya pun
terdapat 2 acara yang merupakan kebudayaan dari kedua belah pihak sehingga
menjadi kebudayaan yang sedikit baru dan mungkin banyak juga pernikahan yang
memiliki kebudayaan yang berbeda sehingga dapat memperkaya kebudayaan di
Indonesia.
Yang membuat kita
semakin meningkatkan sikap menghargai keberagaman yang ada di Indonesia dan
semakin bangga dengan negara kita ini.
3
1.3 Hambatan-hambatan Multikulturalisme
Masyarakat
indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan
heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu
dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya,
demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas
mengindikasi suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan
yang potensial dimiliki oleh suatu
masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek
lainnya yaitu, struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan
keputusan sosial yang berbeda,
pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga tanpa memperoleh tantangan yang sama
kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui konsep
negara kesatuan yang mengimplikasikan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya
berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber
nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat
pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya
sebagai kerangka acuan bagi
perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad
Hassan, 1998).
Sehingga perbedaan
antar kebudayaan, justru bermanfaat
dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat
tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa
telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan
kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya
melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan
dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya.
Sehingga
permasalahan multikultural justru merupakan suatu keindahan bila
indentitas masing-masing budaya dapat
bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain,
bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang
“salah kaprah” untuk membangun struktur dan budaya politik yang
sentralistik.
Masalah yang
biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan
kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dan umum lokal di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain.
4
Pemaksaan untuk
merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat
penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya
mempertahankan tersebut, justru disertai
dengan semakin menguatnya
Etnosentrime secara
formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat
segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan
standar kelmok sendiri. Etnosentrisme
membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau
tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan
sendiri, adanya.
Kesetiakawanan
yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai
dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian etnosentris
cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan
baik dalam pengetahuan, pengalaman,
maupun komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula
dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai
keterbatasan tersebut.
Dalam masyarakat
selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan
dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah
memperlihatkan bahwa kaum konserfatif
cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan.
Proses itu seringkali tidak berjalan
secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan
kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri.
Dalam “masyarakat
yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan
dalam suatu mekanisme yang biasanya
merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik
itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat
berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung
“secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk
menyelesaikan/ mengatasi
perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam bersama-sama mencari mekanisme itu masing-masing kekutan progresif itu juga
berusaha untuk mencari kekuatan yang
dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian,
kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi
bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan
pemaksaan fisik.
1.4 Sikap yang Diperlukan Untuk Mendukung Multikulturalisme
a.
Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam
masyarakat.
b.
Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas
maupun minoritas.
c.
Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik
secara individu ataupun kelompok serta budaya.
5
d.
Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati
dalam perbedaan.
e.
Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam
perbedaan.
f. Mengamalkan
sikap-sikap yang ada dalam Pancasila dan UUD 1995.
6
Daftar Pustaka
8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar